PMIAI-ICAS-UP & STFI SADRA JAKARTA, 03/1/2014
bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Kembali
mengadakan Seminar Nasional
Filsafat Islam Dan Tasawuf yang kali ini membahas Teori Insan Kamil yang merupakan pembicaraan
yang umum dalam karya tokoh-tokoh
tasawuf dunia termasuk Syekh Abdulkarim Al Jilli. Hadir sebagai
narasumber kali ini adalah Peneliti dan praktisi Filsafat dan tasawuf
yang tidak asing lagi di dunia akademis yakni Prof. Prof. Dr.Yunasril Ali.
Bertindak sebagai moderator kali ini adalah Ketua STFI Sadra Dr. Kholid Al
Walid.Prof. Dr.Yunasril Ali menjelaskan
hal-hal yang berkaitan dengan berberapa
pandangan al-Jili dalam merefleksikan hakikat dari insan kamil diantaranya
adalah :
Nama
lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn
Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa
dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din”
(kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya
dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher
mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam
distrik Bagdad ”jil’. Ia lahir pada awal Muharam (767
H/1365-6 M) di kota Bagdad, karya-karya menurut kami masih mendekati
originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
1. Al-Insan
al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang
paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo,
beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Babi al-Halabi di
Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan
kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
2. Al-Durrah
al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi
yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
3. Al-Kahf wa
al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian
mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi.
Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan
kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam
karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang
menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna
tersendiri.4. Lawami’ al-Barq
4. Maratib
al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan
judul Kitab Arba’in Maratib.
5. Al-Namus
al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas
dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan
sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
Al-Jili merumuskan
insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah
contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian
tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan,
tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros
kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian
dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri
Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan
karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa
al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang
Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan
insan kamil dengan dua pengertian.
Pertama, insan kamil dalam
pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian
demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap
mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat
tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru
oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari
Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil
terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat
Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial
dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia
sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang
inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering
terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia
menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia
dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian
mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai
tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan
sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta
mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga,
ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat
mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi
mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup
Tuhan (nur Muhammad).
Al-jili
seperti ibn ’Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang
paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya
mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak, yang bebas
dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi murni,
tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Di
dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat dipahami dan
tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera, pemikiran,
akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti, hal yang
tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak mungkin
manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat mutlak itu secara pasti.
Al-jili mengatakan,”Sesungguhnya saya telah memikirkan-Nya, namun bersama itu
pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia”. Ungkapan tersebut senada dengan
ucapan ibn ’Arabi,”Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.”
Kemudian,
wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alamsemesta yang serba ganda
ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan alam yang dilakukan oleh
tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada. Menurut al-jili alam ini
bukanlah dicptakan Tuhan dari bahan yang telah ada, tetapi diciptakan-Nya dari
ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya. Kemudian, wujud alam yang ada
di dalam ilmu-Nya itu dimunculkan-Nya menjadi alam empiris.
Dengan
terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta, tercerminlah kesempurnaan citra-Nya
pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah berbilang dengan
berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap wadah
tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra
ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari
esensi mutlak itu. Menurut pandangan al-jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah
transenden dan sekaligus imanen.
0 comments: