Bersama Prof. Kautsar Azhari Noer
Menurut pengakuan Ibnu arabi, kitab fusus Al- Hikam merupakan pemberian
Nabi Muhammad saw kepadanya melalui mimpi. Dalam mimpi tersebut Nabi Muhammad
saw mengatakan ini kitab fusus Al Hikam , ambil dan sebarkan kepada umat
manusia agar mereka mengambil manfaat. Dalam pengakuannya juga, Ibnu Arabi
tidak pernah menulis yang mempunyai suatu maksud yang tertata, sebagaimana
penulis-penulis lainnya pada umumnya. Penulisannya berdasarkan kilatan cahaya
dari ilha Ilahi yang telah mendekatinya.Kalau karyanya dengan jelas menunjukkan
suatu komposisi, hal ini sesuatu yang tidak sengaja. Dengan ilham Ilahi dan
pengalaman ini, keyakinan Ibnu Arabi kepada Allah swt semakin bertambah mantap.
Dengan melihat tamsil atau gambaran yang
dituliskan Ibnu Arabi dalam kitab fusus Al hikam sebagai bentuk bangunan
pandangan Ibnu Arabi tentang whdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti.
Banyak juga yang menilai bahwa Ibnu Arabi sebenarnya sedang membangun
pandangannya dengan mengambil/meminjam perangkat-perangkat agama yang sudah
mapan.
Dengan pandangannya itu sudah menjadi cirri khas Ibnu arabi di hampir semua
karyanya selalu menampilkan gagasan keagamaan yang tidak lazim. Karenanya,
selama perjalanan hidupnya sering kali Ibnu Arabi mendapat perlawanan dan
kecaman dari berbagai kalangan, terutama kelompok kaum fuqaha dan ahli hadist
yang terkenal literalis dan formalis, ini disebabkan karena teori tentang
wahdatul wujud yang dianggap condong pada panteisme. Phanteisme ialah
kepercayaan bahwwa Tuha menjelma dimana-mana, bahwa segala yang wujud di ala m
ini adalah perwujudannya .Sedagkan manunggaling kawula gusti secara literal
berarti menyatu Hamba dan Tuhan. Ungkapan-ungkapan
yang pernah dikeluarkan pleh Ibnu Arabi beralasan, letak perbedaannya hanya
terletak pada penafsiran dengan orang-orang yang menentangnya, contohnya:
Dalam kitab Futuhat Al- Makkiyah ketika ia menguraikan isi kandungan ayat
Al-Mujaadilah ayat 7:
Tidakkah kamu perhatikan ,bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang dilangit dan di bumi?
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang ,melainkan
Dialah keempatnya. Dan tiada(pembicaraan antara)lima orang, melainkan Dialah
keenamnya.dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau
lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.
Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada
hari kiamat apa yang telahmereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.(Qs. Al-Mujaadilah, 58:7).
IbnuArabi, seorang pembaca yang cermat, dapat dengan mudah mengkap bahwa
maksud ungkapan “wa la adna min dzalika”adalah dua orang, sedangkan “wa la
aktsara”berarti tujuh orang atau lebih.Ibnu Arabi kemudian mengajukan
pertanyaan :
Pertama,Kenapa di ayat tersebut dikatakan, jika ada tiga individu maka Allah
adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam? Kedua,Kenapa
bukan, Jika ada empat maka dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia
ketujuhnya? Jawabannya(lanjutnya) Ibnu Arabi: adalah karena Allah hendak
menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad(, bahwa Dialah yang berdiri
sendiri, yang wujudnya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam
setiap jumlah tersebut Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk
didalamnya (yasyfa’uha(ya’ni an-najwa)bima laysa minha). Dengan begitu Tambah
Ibnu Arabi, Allah juga menunjukkan status keberadaanNya. Maksudnya, tak seorangpun
dapat berdiri sendiri melainkan dengan wujudnya, digenapkan oleh Al Haq, karena
ketunggalan Nya dan Ke EsaanNya semata. Hatta la takuna Al-ahadiyatu illa lahu
yang artinya:sehingga tidak ada keesaan kecuali bagiNya. Oleh karena mahluk
mustahil dapat menggenapkan Nya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan
mahluk, firman Allah ta’ala: Wahuwa ma’akum aina maa kunntum Ibnu Arabi
kemudian mengajukan pertanyaan lagi, mengapa bukan sebaliknya? Mengapa Allah
tidak mengatakan :wa antum ma’a Hu aynamakana(dan kalian bersama Nya dimana
saja Dia berada)? Jawabannya(lanjutnya) Ibnu Arabi: karena mustahil bagi mahluk
dapat kita(fa-ya’lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na’rifu kayfa nash –
habuHu). Dasar pernyataan Ibnu Arabi juga ada.Singkatnya, tafsir dari surah Al-Hadiid
ayat 4, menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagi Nya, tetapi
mustahil bagi kita(fa Al-ma’iyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah ‘anna fihi). Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:Kemudian Dia bersemayam di atas
arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari
padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada Nya. Dan Dia
bersam kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah MahaMelihat apa yang kamu
kerjakan(QS.Al-Hadiid,57:4).
0 comments: