Blog Archive

Visitor

Flag Counter

Wednesday, January 8, 2014

INSAN AL KAMIL DALAM PERSEPEKTIF ABDULKARIM AL JILL

by Unknown  |  in SEMINAR NASIONAL FILSAFAT ISLAM DAN TASAWUF at  7:27 AM

PMIAI-ICAS-UP & STFI SADRA JAKARTA, 03/1/2014 bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Kembali mengadakan Seminar Nasional Filsafat Islam Dan Tasawuf yang kali ini  membahas  Teori Insan Kamil yang merupakan pembicaraan yang umum dalam karya  tokoh-tokoh  tasawuf dunia termasuk Syekh Abdulkarim Al Jilli. Hadir sebagai narasumber kali ini adalah  Peneliti dan praktisi Filsafat dan tasawuf yang tidak asing lagi di dunia akademis yakni Prof. Prof. Dr.Yunasril Ali. Bertindak sebagai moderator kali ini adalah Ketua STFI Sadra Dr. Kholid Al Walid.Prof. Dr.Yunasril Ali  menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan  berberapa pandangan al-Jili dalam merefleksikan hakikat dari insan kamil diantaranya adalah :
Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad ”jil’. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, karya-karya menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:

1.      Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
2.      Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
3.      Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.4. Lawami’ al-Barq
4.      Maratib al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
5.      Al-Namus al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).
Al-jili seperti ibn ’Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak, yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Di dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat dipahami dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera, pemikiran, akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti, hal yang tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat mutlak itu secara pasti. Al-jili mengatakan,”Sesungguhnya saya telah memikirkan-Nya, namun bersama itu pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia”. Ungkapan tersebut senada dengan ucapan ibn ’Arabi,”Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.”
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alamsemesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan alam yang dilakukan oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada. Menurut al-jili alam ini bukanlah dicptakan Tuhan dari bahan yang telah ada, tetapi diciptakan-Nya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya. Kemudian, wujud alam yang ada di dalam ilmu-Nya itu dimunculkan-Nya menjadi alam empiris.
Dengan terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta, tercerminlah kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah berbilang dengan berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu. Menurut pandangan al-jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah transenden dan sekaligus imanen.


0 comments:

Proudly Powered by Blogger.